PARADOKS Bagian 2
“Ni
anak masih saja gak mau
pamitan. Kamu kan gak sendirian tinggal di rumah bukannya
di hutan. Dasar
ya si Athan
ini. Ibunya chat juga gak di
balas. Bikin khawatir
aja”. Memasukan smartphone ke dalam
totebag dan dengan mengenakan
jas putih lalu bergegas berangkat
menuju tempat mengabdi.
Lokasi rumah sakit cukup jauh
dari tempat singgah
sehingga biasa di tempuh dengan
kereta kencana mesin.
Mataku
menyuri setiap sudut satu ruangan
yang tak begitu
luas dan di
dalamnya ada meja
dengan buku-buku yang
menggunung di atasnya.
Disudut ruang ini terdapat lemari
kayu dengan dua
daun pintu yang tertutup,
aku yakin isinya
juga buku yang
berdebu, kusam dan tak pernah
terjamah lagi. Lalu
ada satu meja dengan tiga
kursi yang saling
berhadapan satu banding
dua. Dari luar
saat memasuki ruangan
ini terbaca olehku
sepenggal kata yang
berbunyi ruang bimbingan
konseling. Disinilah aku
sekarang, hanya berdua
dengan laki-laki paruh
baya yang duduk
di hadapanku. Laki-laki
paruh baya itu mengenakan
pakaian sipil hariannnya
yang berwarna khaki. Di
atas saku dadanya
ada nametag yang
samar-samar ku baca.
Budianto, guru
bimbingan konseling di
tempat yang di
sebut sekolah ini.
Wajahku
di penuhi dengan biru, ungu, kehitam-hitaman luka memar serta
lebam. Mulai dari
mata, hidung, hingga
bibir yang masih ada
goresan-goresan darah. Sebelumnya darah mengucur
di wajahku tapi kini sudah
tak lagi ada.
Sebelum aku di
bawa ke tempat
ini, aku sempat
di larikan ke ruang UKS. Meski
tubuhku babak belur
namun satu hal yang pasti,
aku tak merasakan
emosi. Rasa sakit,
pedih, amarah, dan
segala emosi yang
seharusnya di rasakan
oleh setiap manusia
pada umumnya. Hanya
kehampaan. Mungkin saja
karena seumur hidup
aku terbisa dengan
cacian, hinaan, kekerasan
dan semua kemunafikan
yang ada di
muka bumi ini
hingga aku tak
merasakan emosi.
“Athan, kamu
bawa hape? Bisa
hubungi orang tuamu”, tuturnya dengan
sedikit senyum di
bibirnya. Tanganku merogoh masuk
saku celana dan
mengeluarkan handphone yang
ada di dalamnya.
Di
salah satu ruang
rumah sakit terdengar
handphone berdering. Kriiinnnggg... kriinnnggg... “Halo,
kenapa nak tumben
kamu menelfon ibu.
Ada apa?” Belum usai panggilan
berlangsung, rona yang sebelumnya sumringah
tiba-tiba sirna dan
menyisakan kecemasan di
raut wajahnya seolah
ada duka yang
tersampaikan. Semua kenyamanan
serta benda-benda di
sekitarnya tak lagi terhiraukan,
pergi dengan tergesa-gesa.
Dari ruangan
yang sempit ini terdengar suara
pintu berderit, ada
seseorang yang masuk.
Seseorang itu tiba-tiba
memelukku, bulir-bulir air
meronta keluar dari
matanya yang sembab,
bahkan hingga dentuman
jantungnya pun mampu
ku denger. Ibu, dialah perempuan
yang menangis memelukku.
“Athan gak apa-apa nak?
Athan kenapa bisa
seperti ini?”, dua pertanyaannya yang
menyongsong setelah lama terdiam menatap
wajahku.
“Maaf bu,
bisa tenang sebentar
biar saya jelaskan”,
potong pak Budi
mendengar pertanyaan ibu
yang mengarah padaku.
“Maaf pak sebelumnya tapi saya tidak sedang berbicara dengan
anda!”, tegas
ibu dengan pandangan tajam
yang mengarah pada
pak Budi. Pak
Budi hanya diam
dan menyodorkan secarik
surat yang di
letakkannya di atas
meja.
To Be Continued ...
14 Comments
Nathan ini super introvert ya?
ReplyDeleteSpoiler dong kalau di jawab.
ReplyDelete*Terima kasih telah mengunjungi blog kami
Ibu nya nggak sopan sama guru BP 😭
ReplyDeleteJadi yang protagonis siapa?😂
DeleteWih udah keren blognya, bikin cerbung lagi 👍👍
ReplyDeleteMasih amatiran🙏
Delete*Terima kasih telah mengunjungi blog kami:)
Aku ingin bisa menulis rapi seperti ini ....ini keren
ReplyDeleteYuk belajar lagi, saya pun masih berproses.
Delete*Terima kasih telah mengunjungi blog kami:)
Athan kelainan kejiwaan?
ReplyDeleteTapi dia sekolah umum. Teori yang menarik 😊
Delete*Terima kasih telah mengunjungi blog kami:)
Pengen bisa nulis yang menarik begini 😢😢
ReplyDeleteBisa di pelajari kok.
Delete*Terima kasih telah mengunjungi blog kami:)
Pengen bisaaaaa
ReplyDeleteSemakin banyak yang komentar demikian semakin gak yakin🤒🤕
Delete*Terima kasih telah mengunjungi blog kami:)