PARADOKS Bagian 10
Jam
menunjukan pukul lima.
Kali ini matahari
terlambat pulang, membuat
jingga mewarnai langit.
Burung-burung berterbangan kembali
kesarangnya. Aku pula
demikian.
Dua hari berturut-turut menjadi sasaran dari emosi nampak sangat menyedihkan. Berjalan sendirian dengan wajah babak belur sungguh buruk sekali. Bagian terburuk dari semua ini, jika nanti ibu tahu kejadian kemarin terulang lagi. Sosoknya yang cerah pasti akan meredup kembali. Aku sangat senang saat orang lain rasa terpuruk dalam kekosongan tapi tidak apabila itu terjadi padanya. Entah semenjak kapan aku seperti ini, aku tak menyadarinya. Biarlah, lebih baik aku segera pulang, masuk kamar dan bergegas tidur.
Dua hari berturut-turut menjadi sasaran dari emosi nampak sangat menyedihkan. Berjalan sendirian dengan wajah babak belur sungguh buruk sekali. Bagian terburuk dari semua ini, jika nanti ibu tahu kejadian kemarin terulang lagi. Sosoknya yang cerah pasti akan meredup kembali. Aku sangat senang saat orang lain rasa terpuruk dalam kekosongan tapi tidak apabila itu terjadi padanya. Entah semenjak kapan aku seperti ini, aku tak menyadarinya. Biarlah, lebih baik aku segera pulang, masuk kamar dan bergegas tidur.
Ceklek, ceklek...
Rumah begitu
sunyi, sepertinya ibu
belum pulang. Syukurlah
kalau begitu.
Lampu
masih
padam, tirai jendela
di biarkan terbuka
dan pintupun tidak
di kunci.
“Anak ini masih saja ya, apa harus di beri jadwal dan ditulis besar-besar di dinding rumah.”
“Rumah sendiri kotor di biarin aja, pasti ini anak pulang sekolah langsung tidur”.
“Gak mandi gak makan, kebiasaan banget sih” gerutuku sendiri. Tapi entahlah aku suka senyum-senyum sendiri menyadari tingkahnya.
“Anak ini masih saja ya, apa harus di beri jadwal dan ditulis besar-besar di dinding rumah.”
“Rumah sendiri kotor di biarin aja, pasti ini anak pulang sekolah langsung tidur”.
“Gak mandi gak makan, kebiasaan banget sih” gerutuku sendiri. Tapi entahlah aku suka senyum-senyum sendiri menyadari tingkahnya.
Segera
aku berbasahan terlebih
dahulu setelah itu
bangunin Athan lalu
makan malam. Dalam
kepalaku sudah terbayang
banyak menu masakan
apa saja yang
akan kita santap.
Pasta, ramen, sushi dan makan-makanan lezat lainnya. Akan tetapi mungkin
untuk malam ini roti pita
dengan souvlaki dan
tzaziki saja. Dari daerah asalnya sana, Roti
pita dihidangkan seperti
nasi yaitu sebagai
makanan pokok. Rasanya
seperti roti tawar
yang biasa di
swalayan-swalayan namun berbentuk bulat
pipih dan kosong
di bagian tengahnnya.
Jika di Indonesia
ada makanan dengan
nama sate di
Yunani ada makanan
serupa yaitu souvlaki
dan satu menu
lainnya lagi serupa dengan
salad. Rasanya rindu
melihat Athan makan begitu banyak, akhir-akhir ini dia makan sedikit
sekali. Terakhir
kali, Athan begitu
lahap menikmati makan-makanan
Yunani,
meski sebenarnya aku sendiri tak
begitu menikmatinya. Apakah
semua orang tua
seperti ini atau
hanya aku saja?
Yang pasti aku
sangat tidak sabar
untuk makan malam
ini.
“Makannya besok pagi
saja, Athan sudah
tidur. Selamat malam
ibu”.
Pesan macam apa itu? Tulisan diatas kertas yang tertempel di pintu kamar anakku. Ku rasa lucu ya kalau aku ambil foto dulu dan post di media sosial, lalu captionnya pesan dari pangeran. Cekrek... (lampu flash menyala). Sedikit eksis tidak apa mungkin ya.
Pesan macam apa itu? Tulisan diatas kertas yang tertempel di pintu kamar anakku. Ku rasa lucu ya kalau aku ambil foto dulu dan post di media sosial, lalu captionnya pesan dari pangeran. Cekrek... (lampu flash menyala). Sedikit eksis tidak apa mungkin ya.
Tok tok tok... “Athan, Ibu
masuk”. Tak terdengar jawaban
dari dalam. Segera
ku buka pintu
dan mataku mengarah
langsung padanya. Anak
laki-laki yang bersembunyi
di dalam selimut
putih. Ternyata dia
benar-benar tidur. Tumben
sekali, biasanya dia
jam segini masih termenung memandangi
langit dari balik jendela.
Wajahnya
babak-belur lagi. Lebih parah
dari sebelumnya. Apa
mungkin dia menjadi
target pembullyan lagi. Kali
ini dia hanya
tertunduk, seolah tak
ingin menunjukan parasnya
padaku. “Gak apa-apa nak,
kita makan dulu
yuk”, ajakku memecahkan
keheningan.
“Athan
baik-baik saja, ibu.” Ternyata anakku
memang benar-benar berbeda.
Ku coba tersenyum untuk lebih tenang,
membendung air
mata yang segera
tumpah.
To Be Continued ...
20 Comments
lanjutkan kakak. Terbaik hiii
ReplyDeleteDi lanjut dung pasti🤗
Delete*Terima kasih telah mengunjungi blog kami:)
Kadang kita terlalu khawatir melihat anak kita kesakitan, tapi justru anak harus belajar menghadapi kesulitan nya sendiri agar dia banyak belajar tentang kehidupan
ReplyDeleteMungkin itu juga yang di rasakan ibu Athan.
Delete*Terima kasih telah mengunjungi blog kami:)
Seorang ibu,, pasti tau gimana rasanya melihat anak anaknya terluka,,
ReplyDeleteJadi rasanya gimana ka?😁
Delete*Terima kasih telah mengunjungi blog kami
Kasih ibu sepanjang masa..
ReplyDeleteIya, sepanjang masa 😮
Delete*Terima kasih telah mengunjungi blog kami:)
Kadang, kalau lukamya parah, saya sih ga mikir dia kalo buat bawa ke RS lalu menindak anak yang menjahilinya.
ReplyDeleteSetiap orang tua berbeda. ibu dan bapak aja berbeda tindakan 😁
Delete*Terima kasih telah mengunjungi blog kami:)
Lanjutkan 👍
ReplyDeleteHarus dung😊
Delete*Terima kasih telah mengunjungi blog kami:)
Tetep semangat nulisnya kak
ReplyDeleteMasih diusahakan 🙂
Delete*Terima kasih telah mengunjungi blog kami:)
Kadang, anak butuh dukungan kepercayaan saja, kalau dia bisa melewatinya, tetapi kekhawatiran dan tak tega menjadi org tua sering bertindak berlebihan dan protektif..
ReplyDelete.
bagus kak, ceritanya
Akupun berfikir sama🤗
Delete*Terima kasih telah mengunjungi blog kami:)
Semangat yaa
ReplyDeleteSelalu dung, insyaallah
Delete*Terima kasih telah mengunjungi blog kami:)
Semangat menulis kak!
ReplyDeleteMasih terus diusahakan 🙂
Delete*Terima kasih telah mengunjungi blog kami:)