PARADOKS Bagian 19
Usiaku
tak kunjung bertambah,
wajah serta tubuh
tidak berubah namun
kehidupanku masih terus
berlangsung. Jika dihitung-hitung semenjak
aku membuka mata, mungkin
usiaku telah setara
dengan dewa-dewi penghuni
dunia atas. Apakah
aku memang manusia
biasa? Jika iya
lalu mengapa aku
tak terlahir dari
rahim seorang wanita,
tak kunjung tutup
usia, tak bisa
menua dan bahkan
tubuhku beregenerasi begitu
cepat ketika terluka. Saat
itu aku sangat
muak dengan keabadian.
Rembulan
telah berada pada
posisinya, menjadi sosok
terang diri gelapnya
kanfas semesta di detik ini.
Ibu kembali beranjak
dari duduknya, menyalakan
lampu yang membuat
ruangan ini kembali
ada kehidupan.
“Nanti atau
besok di sambung
lagi ya nak”,
tegurnya padaku.
“Makan dulu yuk, setelah itu ibu antar pulang”.
“Makan dulu yuk, setelah itu ibu antar pulang”.
Aku
sampai lupa kalau
saat ini masih
berada di rumah
sakit. Apakah begitu panjang
kisah yang aku
ceritakan. Deretan cerita
ini belum selesai.
Aku dan ibu
menuju tempat dimana
mobil terparkir. Baru
saja aku membuka
daun pintu kereta
kencana besi, belum
sempat kaki memasukinya
walau hanya setapak
tapi ibu memberhentikan
pergerakanku. “Athan duduk di
belakang! ibu enggak
mau ya repot-repot
kalau Athan pinsan
lagi”.
Benar juga jika diingat-ingat kembali, aku sempat tak sadarkan diri sebab memaksakan diri menatap sorot lampu kendaraan bermotor dan ketika terbangun telah terkapar di kamar begitu saja.
Benar juga jika diingat-ingat kembali, aku sempat tak sadarkan diri sebab memaksakan diri menatap sorot lampu kendaraan bermotor dan ketika terbangun telah terkapar di kamar begitu saja.
“Athan
lukanya masih terasa
sakit?”, tanyanya sembari
mengendarai mobil, fokus menatap jalanan
raya yang ramai.
Aku hanya menjawab dengan satu kata “Tidak” lalu itu kembali menanyakan hal-hal remeh. Malam ini ingin makan apa?, besok mau dirumah atau ikut ke rumah sakit?, besok ada rencana pergi kemana? dan pertanyaan-pertanyaan yang kutahu hanya basa-basi lainnya.
Selama seminggu kedepan aku tidak berangkat sekolah. Aku di berhentikan untuk sementara, skorsing. Surat peringatan ketiga telah dilayangkan dan sudah diterima ibu.
Aku hanya menjawab dengan satu kata “Tidak” lalu itu kembali menanyakan hal-hal remeh. Malam ini ingin makan apa?, besok mau dirumah atau ikut ke rumah sakit?, besok ada rencana pergi kemana? dan pertanyaan-pertanyaan yang kutahu hanya basa-basi lainnya.
Selama seminggu kedepan aku tidak berangkat sekolah. Aku di berhentikan untuk sementara, skorsing. Surat peringatan ketiga telah dilayangkan dan sudah diterima ibu.
Malam
telah larut, jam
makan berakhir dan
kami tiba juga
di rumah. Ibu
mengantarkan aku ke
kamar, memapahku yang sebenarnya sanggup
untuk melangkah sendiri.
“Pelan-pelan! Awas lukanya robek lagi! Hati-hati Athan nanti berdarah lagi loh!”, ibu terus-menerus mengulang ucapannya. “Telinga Athan, dua duanya masih normal ibu”, jawabku pada setiap tegurannya. Entah apa yang lucu dari ucapanku, senyumnya melambung menutupi raut wajah yang murung. Setibanya di kamar ibu kembali keluar kamar tanpa menutup pintu. Ada sesuatu yang ingin ia ambil katanya.
“Pelan-pelan! Awas lukanya robek lagi! Hati-hati Athan nanti berdarah lagi loh!”, ibu terus-menerus mengulang ucapannya. “Telinga Athan, dua duanya masih normal ibu”, jawabku pada setiap tegurannya. Entah apa yang lucu dari ucapanku, senyumnya melambung menutupi raut wajah yang murung. Setibanya di kamar ibu kembali keluar kamar tanpa menutup pintu. Ada sesuatu yang ingin ia ambil katanya.
Dari
tempat aku berbaring,
korden kamar ini
masih terbuka lebar,
memperlihatkan pesona langit
malam tanpa bintang.
Jika rembulan bisa
bertutur kata, apakah
dia akan mengeluh
karena ditinggalkan sendiri.
Tirai
jendela tiba-tiba tertutup.
Ibu yang menutupnya.
Ia mengambil teknologi
moderen yang biasa
di kenal dengan
sebutan leptop. Leptop
putih tak
begitu tebal dan
sepertinya cukup ringan
untuk dijinjing satu
tangan. Lalu ibu
duduk di sampingku,
kakinya menjulur lurus
dan punggungnya bersandar
pada dinding berwarna
putih. Sampai di rumahpun dia masih saja sibuk.
“Sekarang
Athan bisa lanjutkan
cerita yang tadi”.
Aku pikir-pikir reaksi ibu berbeda dengan yang aku bayangkan sebelumnya.
Aku pikir-pikir reaksi ibu berbeda dengan yang aku bayangkan sebelumnya.
To Be Continued ...
0 Comments