PARADOKS Bagian 21
Sebenarnya
aku menemaninya sebab
setiap malam aku
selalu menjumpainya terbangun.
Aku tidak ingin
menanyakannya secara terus
terang, biarkan dia
menceritakan dengan sendirinya.
Kurasa sedikit-demi sedikit
ia dapat berdamai
dengan dirinya sendiri
dan mulai terbuka
orang lain. Ibu
akan menjadi telinga
untuk selalu siap mendengar setiap
kata yang selama
ini kau pendam
nak.
Kisah
tentang dirinya yang
tak dapat dilogikan
itu pada awalnya
aku meragukannya. Mungkin
itu imajinasinya saja. Namun dari
tutur kata serta
sorot matanya aku
mencoba untuk mempercayainya. Bagaimanapun
kehidupannya yang lalu telah lama
usai dan biarkanlah
menjadi cerita di
hidupnya. Di kehidupnnya
kini dan nanti
dia akan selalu menjadi anak
laki-lakiku yang sangat
istimewa. Orang tua
mana yang percaya
bahwa anaknya ternyata
tak bisa tumbuh
dan menjadi dewasa,
bahkan telah hidup
selama berabad-abad lamanya.
Untuk malam
ini, selamat tidur putraku, Athan.
Jam
menunjukan pukul satu
malam. Lagi-lagi aku
terbangun, seperti rutinitas
sepanjang malam. Aku
terbangun setelah sadar
dari mimpi yang
tak aku mengerti.
Mimpi yang terulang-ulang, seolah
ingatan samar yang
datang sebagai bunga
tidur. Ada tangan
pemeluk tubuhku, ternyata
ia benar-benar menemani
tidurku malam ini. Layar leptopnya
masih menyala, sepertinya
ibu baru saja
tidur. Sekilas terbaca
olehku apa yang
malam ini ia
tulis, sepertinya bukan
pekerjaan, melainkan cerita
yang panjang. Dari
raut wajah ibu
nampak sangat lelah.
Mungkin aku tak
perlu bangkit dari
tidur, itu akan
membangunkannya.
Biarlah malam berjalan dengan
tenang dan menjemput
pagi yang damai.
Tidur nyenyak, Ibu.
Tidur nyenyak, Ibu.
Kurasa
belum lama aku tidur lagi
setelah terbangun pada pertengahan malam
dan ibu masih
ada di sampingku,
tapi ternyata itu
sudah berlalu beberapa
jam lalu. Leptop
di atas meja
sudah tidak ada. Aku terbangun
kembali, sendiri bersama
cahaya pagi yang
telah menyelinap masuk
melalui sela-sela fentilasi
ruangan ini.
Kriiinnnggg... kriiinnnggg... kriiinnnggg.... terpon
berdering di pagi
hari, padahal baru
saja aku membuka
mata. “Athan bangun,
turun nak. Ibu
sudah masak”. Ibu
yang menelpon, entah
kenapa aku tersenyum
mengingat zaman sudah
sangat berkembang, bahkan
cara membangunkan anakpun
sekarang menggunakan alat
komunikasi jarak jauh.
Bangun, mandi setelah
itu sarapan. “Hari
ini mau kemana
ya”, pikirku sejenak.
“Selamat
sarapan, hari ini
ibu yang masak
loh.”
“Roti tawar yang di oleskan margarin lalu di bakar apakah ini namanya memasak?”, tanyaku yang sengaja tak ku sampaikan. Biasanya ibu tidak pernah memasak bahkan bisa dikata ia tak pandai dengan apa yang ada di dapur. Aku bisa berspesifikasi seperti itu bukan karena tak ada sebab, aku sama sekali tak pernah menyentuh peralatan dapur sebelumnya. Seorang ibu memang tak hurus pandai menyiapkan masakan, bagiku.
Malam
tadi Athan ternyata
tak terbangun, mungkin
malam-malam sebelumnya hanya
sebuah kebetulan semata.
To Be Continued ...
2 Comments
Ditunggu kelanjutan cerbungnya mas... Semangat
ReplyDeleteInsya'allah semangat terooosss...
Delete*Terimakasih telah mengunjungi blog kami:)