PARADOKS Bagian 22
Sudah
beberapa hari aku
tak menginjakan kaki
di halaman sekolahan.
Hari-hari aku di scorsing habis
di rumah sakit.
Tempat dokter, pasien
dan beberapa orang yang sebetulnya
tak ada keperluan
untuk ada disini.
Mereka berlalu-lalang memenuhi
gedung ini. Itu
mereka yang terlihat
oleh manusia pada
umumnya, namun ada
juga yang tak
kasap mata berkeliaran
di tempat ini. Thanatos, Ker, Moros dan para anak
buahnya. Mereka berkeliaran
disini, menjeput atau
mempaksa manusia untuk
meninggalkan tubuhnya. Setiap
dewa ataupun dewi
yang bertugas di
dunia mempunyai seribu
anak buah. Satu anak buah memiliki seribu
bawahan dan begitu
seterusnya sampai garis
ke tujuh.
Sangat
jarang aku melihat
Thanatos bertugas, sering
kali anak buah-
anak buahnyalah yang
mengerjakan tugas. Namun
kali ini ia
turun tangan pada
seorang anak yang
sedang sibuk memainkan
handphonenya. Kejadian
kali ini mengingatkanku pada
Moriz, sudah puaskah
dia dengan hari-harinya
di dunia ini. Kurang
lebih dua minggu
lagi ia mati,
aku sungguh ingin
tahu bagaimana caran
para dewa membawanya
pulang kedunia bawah.
Mataku
berpapasan dengan mata
tajam sang dewa,
Thanatos. Apakah dia
menyadari bahwa aku bisa
melihat keberadaannya? Tanpa sadar
aku mengikuti dewa
itu ketika memasuki
ruang yang mana
ibu ada di
dalamnya. Ia mendekati
ibu, mungkinkah takdirnya
telah di tentukan?
“Kamu
ternyata bisa melihatku
wahai anak manusia”.
“Sepertinya aku tak asing denganmu. Siapa kamu sebenarnya”, ucapnya padaku.
“Sepertinya aku tak asing denganmu. Siapa kamu sebenarnya”, ucapnya padaku.
Aku
pura-pura tak mendengar
dan ku abaikan
keberadaannya saat ini,
dengan harap dia akan pergi
dari sini segera.
Tak lama, akhirnyapun
ia pergi. Mungkin
ia masih tak
yakin jika aku
bisa melihat wujud
dewa-dewi dibumi. Lalu
seorang bapak-bapak tua
menghampiri dan duduk
tepat disampingku. Tiba-tiba
saja ia bertanya
dengan mencoba ramah
padaku.
“Sedang menunggu
siapa nak disini?”,
tanyanya memulai percakapan
“Ibu di dalam, sedang mengoperasi pasien”
“Dari tadi duduk disini? Sendirian?”, tanyanya kembali.
“Iya”, jawabku acuh. Tak mungkin juga aku duduk disini sebab mengikuti Thanatos yang dengan tiba-tiba mendatangi ruangan ibu.
“Ibu di dalam, sedang mengoperasi pasien”
“Dari tadi duduk disini? Sendirian?”, tanyanya kembali.
“Iya”, jawabku acuh. Tak mungkin juga aku duduk disini sebab mengikuti Thanatos yang dengan tiba-tiba mendatangi ruangan ibu.
Ketika percakapan
kami berhenti sampai
di situ, ibu
datang dengan tanyanya
padaku.
“Athan kenapa disini, bukannya di ruangannya ibu aja?”
“Enggak apa-apa, di ajak ngobrol saja dengan kakek ini”, jawabku pada ibu dengan menunjuk ke arah bapak tua di sampingku.
“Kakek yang mana Athan?”, tanya ibu. Jadi apakah benar ibu tidak bisa melihat bapak tua ini.
“Athan kenapa disini, bukannya di ruangannya ibu aja?”
“Enggak apa-apa, di ajak ngobrol saja dengan kakek ini”, jawabku pada ibu dengan menunjuk ke arah bapak tua di sampingku.
“Kakek yang mana Athan?”, tanya ibu. Jadi apakah benar ibu tidak bisa melihat bapak tua ini.
Ini
baru kali pertama
aku melakukan percakapan
dengan sesosok dewa.
Seperti yang aku
rasakan sebelumnya, bahwa
kakek tua itu
bukanlah manusia biasa.
Meski di awal
aku ragu menyadarinya
dan ternyata benar.
Dia adalah Thanatos.
“Perkenalkan nama saya Thanatos, dewa yang baru saja kau ikuti wahai anak manusia”.
To Be Continued ...
8 Comments
Nah, benar. Nathan indigo
ReplyDeleteIndigooo??? mungkin sih
Delete*Terimakasih telah mengunjungi blog kami:)
Untuk mengikuti cerita bagus, memang harus mengikuti dari awal... Apalagi cerita yang memang mengangkat tema tak biasa kaya punyanya kang Rahman...
ReplyDeleteTemanya biasa kok kehidupan sehari-hari. hahaha
Delete*Terimakasih telah mengunjungi blog kami:)
Tuh kan mata ungu, 😁 special
ReplyDeleteAthan matanya biru tuh, hahaha
Delete*Terimakasih telah mengunjungi blog kami:)
Terjebak dg nama2nya yg mirip dg dunia fantasi 🙏😊
ReplyDeleteMemang fantasi kak
Delete*Terimakasih telah mengunjungi blog kami:)