PARADOKS Bagian 27
Ruangan ini adalah
tempat yang paling
sering aku singgahi
di rumah sakit
megah. Ruang ini pula telah
menjadi saksi bahwa
aku pernah menjadi
anak dari ratu penghuni tempat
ini. Suka, duka,
tangis, tawa memenuhi
hingga di setiap
sudutnya. Seperti biasa,
aku terkapar di
ruang sunyi, sendiri
tanpa adanya orang
lain menemani. Ibu
masih menjalankan tugasnya
sebagai dokter, sementara
aku diminta untuk menunggu disini,
di ruang pribadinya. Katanya
ia ingin mengajakku
kesuatu tempat nanti,
ku rasa yang
di maksut ialah
tempat makan. Karena
memang sebentar lagi
memanglah jam untuk
istirahat makan. Rasanya
menunggu itu tak begitu mengenakkan
tapi aku cukup
menikmatinya. Semua gelap,
tanpa sadar aku
terlelap dalam penantian.
Kreeekkk...
“Anak ini tidur ternyata, sepatu enggak di lepas pula. Dasar, gemesin banget sih”
“Athan, bangun nak. Ayo makan dulu, pasti belum makankan?” katanya dengan sedikit mengguncang-guncangkan tubuhku.
“Ibu sudah selesai?” tanyaku singkat melihat melihat Ibu yang telah berada di hadapanku.
“Anak ini tidur ternyata, sepatu enggak di lepas pula. Dasar, gemesin banget sih”
“Athan, bangun nak. Ayo makan dulu, pasti belum makankan?” katanya dengan sedikit mengguncang-guncangkan tubuhku.
“Ibu sudah selesai?” tanyaku singkat melihat melihat Ibu yang telah berada di hadapanku.
Ibu begitu
fokus mengemudikan mobil,
sementara aku duduk
di bangku belakang
seperti biasanya. Ibu
masih tidak mengizinkan
aku menemaninya duduk
di depan. Aku
tak begitu bisa
menikmati perjalanan berkendara,
berkendara hanya akan
membuatku sakit. Suara
bising yang keluar
dari knalpot serta
bunyi orang-orang yang
tak sabar terperangkap
dalam kemacetan. Aku
lebih memilih tidur
ketimbang mendengar apa
yag dapat menyakiti
telingaku.
“Kita telah
sampai nak, ayo
turun”, tegur ibu
membukakan daun pintu.
Tempat ini
bukan restoran. Untuk
apa ibu membawaku
ke tempat yang
penuh dengan roh-roh
yang penunggu bumi. Aku memang
tak bisa melihat
wujud mereka tapi
aku bisa merasakan
keberadaannya. “Ibu, untuk
apa kita mengunjungi
tempat ini” tanyaku
yang tak mendapati
jawaban. Ia masih
melangkah menghiraukan tanyaku
dan menggandeng tanganku,
seperti ajakan tanpa
kata. Sementara di sisi lainnya,
ia membawa dua
buket bunga krisan.
Bunga yang melambangkan
kesedihan.
“Ere, kenalin
ini kakakmu. Namanya
Athan”
“Athan kakak yang sangat baik, Ere pasti suka jika bertemu dengan kak Athan”
“Athan kakak yang sangat baik, Ere pasti suka jika bertemu dengan kak Athan”
Sebelum ini satu
buket bunga krisan
diletakkan diatas batu dengan
bertuliskan nama
Fadere. Ibu berbicara
seolah sedang berbincang
dengan seseorang yang
tak terlihat. Ternyata
selama ini aku
tak tahu bahwa Ere adalah
nama dari anak
ibu yang sudah meninggal
dunia.
“Satu buket
lagi untuk siapa
bu?” tanyaku
“Untuk ayah Athan” buket bunga yang tersisa asal di tinggalkan di gerbang keluar masuk pemakaman. Sesungguhnya aku tak mengerti kenapa tak diletakkan diatas batu nisan seperti buket sebelumnya.
“Untuk ayah Athan” buket bunga yang tersisa asal di tinggalkan di gerbang keluar masuk pemakaman. Sesungguhnya aku tak mengerti kenapa tak diletakkan diatas batu nisan seperti buket sebelumnya.
Di jalan
menuju parkiran mobil,
lagi-lagi aku bertemu
Thanatos. Dia tak
mengatakan apapun, hanya
saja ia mengikutiku
sampai aku masuk
di mobil. “Athan
saya tahu siapa
engkau yang sesungguhnya”
To Be Continued ...
0 Comments