PARADOKS Bagian 3
     Anak  laki-laki 
pada  umumnya  frontal 
untuk  menyampaikan  apa 
yang  rasa  dan 
di  fikirkan.  Namun 
tak  sedikit  pula 
yang  cenderung  diam 
dan  memendam  setiap 
gejolak  yang  terjadi 
pada  diri  mereka. 
Sifatnya  yang  sulit 
mengungkapkan  perasaan  itulah 
yang  membuat  orang 
tua  selalu  hanyut 
dalam  kehawatiran,  takut-takut 
tak  mampu  mewadahi 
semua  problematika  kehidupan 
dan  takut  akan  berakibat  buruk 
pada  mentalnya, depresi.  Mungkin 
kini  korban  dari 
ketidak  perdulian  sekitar 
tentang  dirinya  hingga 
merasa  dia  hanya 
sendirian,  tak  ada 
yang  menganggap  keberadaannya.  Pada 
umumnya  orang  tua 
tak  menanggapi  dengan 
serius  karena  mungkin 
hal  demikian  memang 
karakternya  yang  dari 
sisi  psikologis  yang 
biasa  disebut  introvert.
     "Athan gak apa-apa  nak?  Athan  kenapa  bisa  seperti  ini?”  tanyanya 
dengan  menahan  aliran 
air  yang  tak 
terbendung  dari  matanya. 
Guru  di  hadapanku 
sempat  memotong  namun 
di  patahkan  dengan 
tegas  olehnya.  Perempuan 
yang  hampir  setengah 
abad  bernafas  itu 
menatap  sayu  padaku. 
Aku  tetap  saja 
diam  dan  kurasa 
dia  masih  menunggu 
kata  yang  akan 
ku  sampaikan. Sebagai  manusia 
aku  tak  tahu 
harus  bagaimana  jika 
berada  di  posisi 
seperti  saat  ini. 
Haruskah  tersenyum,  menyeka 
air  matanya  dan 
mengatakan  aku  tidak 
apa-apa  atau  menangis, 
memeluknya  dan  mengadukan 
tentang  apa  yang  telah  terjadi 
padaku.  Aku  hanya diam 
tapi  apa  itu 
yang  aku  pilih 
sebagai  manusia.
“Bu,  ini 
anaknya  tadi  berantem. 
Biasalah  bu  anak  remaja,  emosinya 
masih  labil. 
Tadi katanya, salah seorang siswa kami tidak sengaja menyenggol anak ibu lalu anak ibu gebukin siswa kami yang lain karena itu kami mengundang ibu ke sekolahan kami dengan maksut ingin menyampaikan hal tersebut dan memberi surat peringatan yang pertama. Semoga ibu bisa mengerti dan kalau bisa anaknya jangan sampai dimarahi”, penjesan dari pak Budi dengan senyum di akhir kata darinya.
Tadi katanya, salah seorang siswa kami tidak sengaja menyenggol anak ibu lalu anak ibu gebukin siswa kami yang lain karena itu kami mengundang ibu ke sekolahan kami dengan maksut ingin menyampaikan hal tersebut dan memberi surat peringatan yang pertama. Semoga ibu bisa mengerti dan kalau bisa anaknya jangan sampai dimarahi”, penjesan dari pak Budi dengan senyum di akhir kata darinya.
“Apa  benar  yang  di 
katakan  bapak  ini 
Athan?  Kamu  berantem?” 
tanya  ibuku  menanggapi 
apa  yang  di 
sampaikan  pak  Budi. 
Aku  diam  tanpa 
sepatah  katapun.
     Ibu 
mengambil  surat  yang  tertutup  rapi 
dalam  amplop  coklat  lalu  menatapku  seolah 
meminta  untuk  tenang. 
Ibu  berdiri  dan 
menarik  tanganku  sebagaimana 
ajakan  tanpa  ucapan. 
“Maaf  pak  Budi, 
saya  lebih  percaya 
anak  saya  ketimbang 
ucapan  bapak  yang 
tidak  ada  bukti 
otentiknya.  Kami  pamit 
undur  diri,  terima 
kasih  telah  menghubungi 
saya”.  Kami  berdua 
pergi  melewati  pintu 
yang  sama  namun 
menuju  arah  yang 
berbeda,  aku  menuju 
ke  kelas  sementara 
ibu  menunggu  di 
tempat  mobil  berada.
     “Hei  albino... 
gimana,  enak  babak 
belur  dan  dapat   SK  langsung 
dari  guru  BK!!”  lalu 
dia  tertawa  terbahak-bahak  melihat 
tampangku  saat  ini.
To  Be  Continued  ...
8 Comments
Secara keseluruhan ceritanya ok. Kalau baca naskah utuh mungkin lebih ada feelnya ya.
ReplyDeleteAkan tetapi, meski sudah dishare. Boleh dong direvisi dikit-dikit untuk typo dan kalimat yang terlalu panjang.
Ok, lanjutkan kak....
Terimakasih atas sarannya sebisa mungkin akan diperbaiki.
Delete*Terima kasih telah mengunjungi blog kami:)
Lanjutan yg kemarin y kak
ReplyDeleteIya benar sekali.
Delete*Terima kasih telah mengunjungi blog kami
nunggu lanjutannya lagi, saya suka sih cerita psikologis begini
ReplyDeleteDi selip-selipin aja
Delete*Terima kasih telah mengunjungi blog kami
Anak sekarang ya!
ReplyDeleteAnak dulu mungkin 🤔
ReplyDelete*Terima kasih telah mengunjungi blog kami:)