PARADOKS Bagian 24
Sudah
beberapa hari aku
masuk sekolah kembali,
setelah satu pekan
penuh tak menginjakkan
kaki sama sekali di
tempat ini. Banyak
hal yang berubah,
seolah atmosfer di sekolah telah
lama berganti. Sekarang
sekolah menjadi tempat
yang mencekam, menjadi
sarang bagi siswa
pencitraan di hadapan
guru, yang di
balik senyuman melakukan
pembulian bahkan kekerasan.
Seolah semua ini
terjadi begitu saja
setelah aku mengenal
dan berurusan dengan
anak donatur terbesar
di sekolahan ini,
Moriz. Entah apa
yang kini terjadi
padanya, seharusnya hari
ini nyawanya menuju
detik-detik terakhir untuk
berangkat ke dunia
bawah.
Awan-awan hitam bergerombol
menutupi matahari, sepertinya
langit akan menghujami
bumi dengan air.
Kelas sangat bising
di jam istirahat
ini, entah apa
yang sebenarnya mereka
bicarakan. Tak begitu
terdengar dengan jelas
apa yang mereka
sedang bicarakan, namun
yang tertangkap oleh
pendengaranku ada sangkut
pautnya dengan Moriz.
Apa lagi yang
di lakukan oleh
anak itu. Aku
bangkit dari tempat
dudukku, melangkahkan kaki
pergi dari ruang kelas
dan menuju ke
toilet.
Di
sepanjang lorong sekolahan
semua siswa sibuk
membicarakan Moriz dan
begitu pula ketika
aku masuk di
toilet. Sekolahan ini memiliki toilet
yang berjajar panjang,
mungkin ada tujuh
atau delapan ruang,
aku tak ada
kepentingan untuk menghitungnya. Di
depan toilet yang
berbaris, ada ruang
yang cukup untuk
murid-murid saling bertukar
cerita, bahkan tak
jarang pula berbagi
lintingan tembakau untuk
sama-sama dihisap. Dari
balik pintu terdengar
beberapa siswa sedang
bertukar kisah. Lagi-lagi
tentang Moriz.
“Sejak
kepergok mukulin si
Albino, Moriz sekarang blak-blakan banget cuk ngebuli.
Gak nyangka gue tuh.
Dulu mah keliatannya
baik, ternyata bangsat
juga tuh bocah.
Psiko!”
“Iya,
psiko parah njir!
Ini tadi ya,
dia nyeret anak
kelas satu ke
loteng. Abis dah tu bocah sama
bajingan psikopat itu”,
sahut siswa lainya.
“Udah
tujuh murid terkapar
ke rumah sakit,
mentang mentang anak
donatur seenaknya jidat,
bangsat!”, sahut siswa
lainnya lagi yang
berbeda. Sepertinya ada
lebih dari tiga
siswa di depan
toilet ini. Aku membuka pintu, keluar dan bergegas
pergi, seketika bola
mata mereka mengikuti
pergerakanku.
Mereka
sama saja dengan
manusia pada umumnya,
bercakap besar namun
mengkerut ketika berhadapan
langsung dengan realita
yang sebenarnya.
Sekolah
ini sangat luas,
dari kelas sepuluh
sampai dua belas
terdapat ratusan ruang
kelas, belum termasuk
ruang-ruangan lainnya. Di sekolahan ini
memiliki satu gedung
yang cukup tinggi
hingga mencapai enam
lantai. Lantai paling
atas pada gedung
tersebut tidak di
pakai untuk apa-apa,
kosong. Pintu menuju balkon pun dikunci
karena memang tidak
aman untuk di
kunjungi, tidak ada
pagar pembatas di
tepi-tepinya. Disanalah markas
Moriz dan kawan-kawan
biadabnya menunjukkan kedudukan
pada mereka yang
dianggap pantas di
tindas.
Di lorong menuju
kelas aku bertemu
dengan Thanatos lagi.
Kali ini kami
kembali berdialog, namun
tak seperti sebelumnya,
dia masih menggunakan
wujud aslinya membuat
aku seperti orang
gila yang berbicara
sendiri. Ditengah-tengah perbincangan
aku melihat Ker terbang menuju loteng. Sang dewi
kematian telah tiba.
To Be Continued ...
0 Comments