PARADOKS Bagian 29
“Ibu, bagaimana
jika Athan adalah
seorang dewa apakah
ibu mau tinggal
bersama di dunia
atas?”
Matahari
segera berpulang namun
malah bersinar dengan
terangnya, mensirnakan awan gelap yang
sedari tadi menutupi
wajah langit. Di
bawah payung tenda
yang cukup besar
dengan cahaya yang
menerobos pohon-pohon berbunga
yang rindang, kami
menikmati roti pita
dengan berbagai menu
masakan lainnya, ada
souvlaki dan tzaziki.
Di depan restoran
terdapat enam payung
tenda berwarna khaki yang berbaris
dengan indahnya. Bagunan
restorannya pun memiliki
tipe yang unik, elegan sebagaimana
eropa zaman dulu. Ditambah lagi
dengan bunga bugenvil
yang merambat menutupi
bagian atas restoran
ini, memberi kesan
cantik dengan wana-warni
yang begitu menawan.
Merah muda, ungu,
putih berpadu ciptakan
warna yang sejuk
dipandang.
Sepulang
dari pemakaman, raut
wajah ibu semakin
berbinar. Ia pun
sekarang begitu menikmati
masakan yang di
suguhkan, padahal sebelumnya
ia tak begitu
menikamati suapan menu
di tempat ini.
Ibu terlihat begitu
bahagia, hembusan angin
menyibakkan helaian rambut
yang lepas dari
ikatan. Detik-detik menuju
senja, kedamaian dan
kebahagian yang akan
dirindukan. Membuatku semakin
sulit untuk mengatakan
bahwa aku ternyata
bukanlah manusia seperti
yang ia ketahui.
Sepertinya harusku urungkan
terlebih dahulu niat
untuk memberi tahunya.
Aku tak ingin
ada kesedihan yang
tersirat di raut
wajahnya. Entah sejak
kapan aku perduli
dengan kebahagiaan orang
lain, padahal aku ini adalah
sang kekosongan. Aku
tak lagi merasa
terganggu dengan keberadaan
orang-orang disekelilingku, awalnya
aku kira itu
hal yang bagus sebab sedikit
demi sedikit menjadi
seperti manusia pada
umumnya. Akan tetapi semenjak
mengetahui jati driku
sebagai dewa, apa
yang terjadi ini
menyalahi kodratku sebagai
Khaos, awal dari
segala yang tak berawalan. Sang
kekosongan, kehampaan dan
ketiadaan.
Seusai
makan kami menyegerakan
pulang, sebab langit
telah menghitam, bintang
dan rembulan pun telah
bersinar. Seperti apa
yang biasa ibu pernah
bilang sepulang dari berpergian, cuci
tangan dan kaki
sebelum istirahat ke
kamar. Ketika aku
membuka pintu kamar,
dua sosok yang
satu dari mereka
tak asing lagi
di mataku. Thanatos
dan sang pemimpin
para dewa, Zeus.
“Hormat
hamba untuk anda,
Khaos” sambut Zeus
melihatku membuka pintu.
“Langsung ke intinya saja, untuk apa engkau kemari Zeus?”
“Saat ini semesta membutuhkan sifat alamiah anda, membutuhkan kekosongan, kehampaan serta ketiadaan yang anda miliki, wahai Khaos. Jika anda tak kembali maka tatanan dunia ini akan hancur dan manusia yang ada disekeliling anda akan merasakan dampak yang lebih parah dari sifat yang anda miliki. Bukankah anda sendiri tahu bahwa kehidupan sebelum-sebelumnya pun hancur, salah satu penyebabnya ialah tidak adanya unsur sifat-sifat anda didunia. Pulanglah, apapun yang anda inginkan akan hamba berikan” jelas Zeus mengenai maksut kedatangannya.
“Langsung ke intinya saja, untuk apa engkau kemari Zeus?”
“Saat ini semesta membutuhkan sifat alamiah anda, membutuhkan kekosongan, kehampaan serta ketiadaan yang anda miliki, wahai Khaos. Jika anda tak kembali maka tatanan dunia ini akan hancur dan manusia yang ada disekeliling anda akan merasakan dampak yang lebih parah dari sifat yang anda miliki. Bukankah anda sendiri tahu bahwa kehidupan sebelum-sebelumnya pun hancur, salah satu penyebabnya ialah tidak adanya unsur sifat-sifat anda didunia. Pulanglah, apapun yang anda inginkan akan hamba berikan” jelas Zeus mengenai maksut kedatangannya.
Kini
aku telah mengetahui
takdirku namun mengapa
aku masih saja
berpikiran panjang untuk
menentukan keputusan bukankah
selama ini itulah
yang aku cari.
Kreeekkkk... “Athan!” sontak
aku menolehkan pandangan
ke sumber suara
dan ternyata Ibu.
To Be Continued ...
0 Comments