PARADOKS Bagian 4

by - September 13, 2019


     Setiap  manusia  pasti  menginginkan  sebuah  pengakuan  dari  orang  lain.  Sehingga  terkadang  melewati  jalan  yang  salah  untuk  mendapatkannya.  Menjadi  seseorang  yang  sukses  dengan  mengalihkan  uang  negara  ke  saku  pribadi.  Menjadi  siswa  terpandai  dengan  membuka  buku  pegangan  diwaktu  ujian.   Menjadi  teman  terbaik  dengan  memfitnah  dan  merendahkan  yang  lain.  Begitu  pula  yang  terjadi  padanya.  Siswa  populer  berwajah  tampan  bak  Foibos  Apollo,  dewa  tertampan  diantara  banyaknya  dewa.  Berwawasan  luas,  berettitude  baik  dan  poin terpentingnya  adalah  kaya  harta  sedari  lahir.  Penuh  kepura-puraan,  palsu,  munafik  atau  kata  apa  yang  cocok  aku  sandangkan  untuk  siswa  bermuka  dua  seperti  dia.  Seorang  siswa,  putra  dari  donatur  terbesar  di  sekolah  yang  bobrok  ini.  Seolah  memegang  kendali  penuh  atas  apa  yang  terjadi.  Menyalahkan  yang  benar,  merubah  cerita  lama  dengan  yang  ia  inginkan  lalu  mengungkapkan  kebohongan  di  atas  kekacauan.

     Aku  berjalan  begitu  saja  menghiraukan  keberadaannya.  Karena  aku  tahu,  dia  merasakan  kekosongan  dalam  dirinya.  Bersenang-senang  dengan  wanita  dan  bermain  tangan  dengan  pria.  Cuih...  dia  meludahiku  dari  belakang.  “Dasar  cupu,  pulang  sana  nyusu  sama  mamah  lu!”.  Tak  ada  yang  mendengar  selain  aku.  Bukankah  sebagai  manusia  seharusnya  aku  marah  dan  memukulnya  saja.  Akan  tetapi  aku  sama  sekali  tidak  merasakan  amarah  atau  terhina,  justru  aku  seperti  senang  sendiri  meihat  orang  merasakan  kekosongan  seperti  aku.  Meski  dengan  cara  yang  berbeda.

          “Lama  sekali  sih  Athan  ngambil  tas  aja,  ibu  dah  nunggu  dari  tadi  loh”,  tegurnya  sesaat  ketika  aku  membuka  pintu  mobil.

     Ruangan  pribadi  ibu  sangat  tertutup,  aku  bisa  sedikit  nyaman  berada  disini.  Rumah  sakit  ini  cukup  elit.  Bahkan  ada  beberapa  dokter  spesialis  yang  memiliki  ruangan  sendiri  dengan  ukuran  yang  tak  bisa  di  bilang  sempit.  Bola  mataku  menatap  langit-langit  dengan  oldlace  sebagai  warna  catnya.  Lampu  disini  disetting  agak  redup  oleh  ibu.  Aku  rasa  makhluk  yang  disebut  ibu  itu  biasa  memperhatikan detail  kecil  orang  yang  dia  sayangi.  Mungkin  aku  harus  mengingat  hal  semacam  itu.

“Athan  lapar?  Ibu  order  makan  ya?”
“Jika  diam  saja  ibu  anggap  iya”,
 sambungnya  sendiri.

     Ibu  sama  sekali  tak  mempertanyakan  bagaimana  aku  bisa  mendapatkan  luka-luka  pada  wajah  serta  tubuhku.  Apakah  manusia  seperti  itu?  Haruskah  aku  menceritakan  apa  yang  sebenarnya  terjadi?  Aku  tak  yakin  untuk  mengungkapkannya.  Pandangannku  masih  menatap  langit-langit  yang  sama.  Berbaring  diatas  sofa  yang  mungkin  berjarak  satu  meteran  dari  tempat  dia  duduk.  Aku  menarik  nafas  panjang  mencoba  menenangkan  diri.

                “Ibu,  ajari  aku  bersikap  seperti  manusia  pada  umumnya”.  Mendengar  apa  yang  aku  katakan  dia  bergegas  menghampiri  dan  duduk  di  sampingku.



To  Be  Continued  ...

You May Also Like

12 Comments

  1. Replies
    1. Ku rasa demikian🤕🤒
      *Terima kasih telah mengunjungi blog kami

      Delete
  2. Open your heart Athan, you'll see another world 😉

    ReplyDelete
    Replies
    1. "what's heart?"
      Terima kasih telah mengunjungi blog kami:)

      Delete
  3. hmm dingin banget hati Athan yah, lanjuut

    ReplyDelete
    Replies
    1. Hati kamu dimana Athan, dimana?
      *terima kasih telah berkunjung di blog kami

      Delete
  4. Replies
    1. Renyah bacanya itu bagaimana ya?
      *terima kasih telah berkunjung di blog kami

      Delete
  5. Replies
    1. Apa? Kok gak tau ya...
      *Terima kasih telah mengunjungi blog kami:)

      Delete