PARADOKS Bagian 4
Setiap manusia
pasti menginginkan sebuah
pengakuan dari orang
lain. Sehingga terkadang
melewati jalan yang
salah untuk mendapatkannya. Menjadi
seseorang yang sukses
dengan mengalihkan uang
negara ke saku
pribadi. Menjadi siswa
terpandai dengan membuka
buku pegangan diwaktu
ujian. Menjadi
teman terbaik dengan
memfitnah dan merendahkan
yang lain. Begitu
pula yang terjadi
padanya. Siswa
populer berwajah tampan
bak Foibos Apollo, dewa
tertampan diantara banyaknya
dewa. Berwawasan luas, berettitude baik
dan poin terpentingnya adalah kaya
harta sedari lahir.
Penuh kepura-puraan, palsu,
munafik atau kata
apa yang cocok aku sandangkan
untuk siswa bermuka
dua seperti dia.
Seorang siswa, putra
dari donatur terbesar
di sekolah yang
bobrok ini. Seolah
memegang kendali penuh atas apa
yang terjadi. Menyalahkan
yang benar, merubah
cerita lama dengan
yang ia inginkan
lalu mengungkapkan kebohongan
di atas kekacauan.
Aku berjalan
begitu saja menghiraukan
keberadaannya. Karena aku
tahu, dia merasakan
kekosongan dalam dirinya.
Bersenang-senang dengan wanita dan bermain tangan dengan
pria. Cuih... dia
meludahiku dari belakang.
“Dasar cupu, pulang
sana nyusu sama
mamah lu!”. Tak
ada yang mendengar
selain aku. Bukankah sebagai
manusia seharusnya aku marah
dan memukulnya saja.
Akan tetapi aku sama sekali
tidak merasakan amarah atau
terhina, justru aku seperti senang
sendiri meihat orang merasakan kekosongan
seperti aku. Meski
dengan cara yang
berbeda.
“Lama sekali
sih Athan ngambil
tas aja, ibu
dah nunggu dari
tadi loh”, tegurnya
sesaat ketika aku
membuka pintu mobil.
Ruangan pribadi
ibu sangat tertutup,
aku bisa sedikit
nyaman berada disini.
Rumah sakit ini
cukup elit. Bahkan
ada beberapa dokter
spesialis yang memiliki
ruangan sendiri dengan
ukuran yang tak
bisa di bilang
sempit. Bola mataku
menatap langit-langit dengan oldlace
sebagai warna catnya.
Lampu disini disetting agak redup oleh
ibu. Aku rasa
makhluk yang disebut
ibu itu biasa
memperhatikan detail kecil orang
yang dia sayangi.
Mungkin aku harus mengingat
hal semacam itu.
“Athan lapar? Ibu
order makan ya?”
“Jika diam saja ibu anggap iya”, sambungnya sendiri.
“Jika diam saja ibu anggap iya”, sambungnya sendiri.
Ibu
sama sekali tak
mempertanyakan bagaimana aku
bisa mendapatkan luka-luka
pada wajah serta
tubuhku. Apakah manusia
seperti itu? Haruskah
aku menceritakan apa
yang sebenarnya terjadi?
Aku tak yakin
untuk mengungkapkannya. Pandangannku
masih menatap langit-langit
yang sama. Berbaring
diatas sofa yang
mungkin berjarak satu
meteran dari tempat
dia duduk. Aku menarik nafas panjang mencoba menenangkan diri.
“Ibu, ajari
aku bersikap seperti
manusia pada umumnya”.
Mendengar apa yang
aku katakan dia
bergegas menghampiri dan
duduk di sampingku.
To Be Continued ...
12 Comments
Betapa kasih si ibu ini
ReplyDeleteKeknya semua ibu gitu deh ke anaknya
DeleteIbu paling tahu bagaimana sifat dan watak dari anaknya
ReplyDeleteKu rasa demikian🤕🤒
Delete*Terima kasih telah mengunjungi blog kami
Open your heart Athan, you'll see another world 😉
ReplyDelete"what's heart?"
DeleteTerima kasih telah mengunjungi blog kami:)
hmm dingin banget hati Athan yah, lanjuut
ReplyDeleteHati kamu dimana Athan, dimana?
Delete*terima kasih telah berkunjung di blog kami
Renyah bacanya 😁
ReplyDeleteRenyah bacanya itu bagaimana ya?
Delete*terima kasih telah berkunjung di blog kami
Inget lagu band fenomenal itu.
ReplyDeleteApa? Kok gak tau ya...
Delete*Terima kasih telah mengunjungi blog kami:)